SALEUM TEUKA

SALEUM TEUKA.......Geutanyoe Ureung Meurdeka Bebas Dalam Ber-XPRESI

Enjoy Beuh !!!

Kamis, 03 November 2011

Penegakan Hukum & HAM di Aceh

PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI ACEH PADA MASA KONFLIK DAN DAMAI

Secara konsep di Indonesia hak asasi manusia di artikan dengan “ seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerahnya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia. (pasal 1UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ).
Persoalan penegakan hokum dan ham di masa lalu yang terjadi di aceh,, sangat bnyak dipengaruhinoleh berbagai perpektif kepentingan , sehingga aceh yang dijuluki sebagai daerah modal telah menyebabkan aceh menjadi daerah yang penuh konflik. Akibat dari konflik internal yang terjadi baik secara vertical maupun horizontal, telah membawa banyak jatuh korban pada masing-masing pihak yang bertikai.
Banyak kasus-kasus pelanggaran ham yang berat yang penderitanya adalah penduduk sipil yang tak berdosa. Banyak kasus-kasus yang terjadi di masalalu, dan sampai sekarang ini hanya baru sebagian yang bisa diungkapkan dan diproses secara hokum yang berlaku. Bahkan masih banyak lagi kasus-kasus ham (kemanusiaan) yang hilang begitu saja tanpa tersentuh oleh penegakan hokum yang pasti dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelanggaran HAM yang berat di Aceh
Indonesia sendiri sudah mencamtumkan perihal hak asasi manusia ini setelah berlangsung amandemen terhadap UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa perlindungan , kemajuan , penegakan dan pemenuhan ,hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.
Adanya jaminan ini dalam konstitusi menandakan bahwa betapa Indonesia sudah sangat menyadari pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia ini. Dengan sendirinya pula, menempatkan Indonesia sebagai Negara yang sudah memiliki aturan yang konkrit dalam konstitusi seputar pengaturan hak asasi manusia.
Pengaturan ini dapat dipahami dari berbagai kondisi kelam masa lalu yang pernah berlangsung di aceh . provinsi ini merupakan kawasan yang berlangsung pelanggaran terhadap hak asasi manusia di masa lalu, khususnya pada masa daerah operasi militer (DOM) sekitar tahun 1989-1998. Setelah dicabutnya DOM , beberapa peristiwa pelanggaran ham juga berlangsung. Beberapa kasus mengenai ham yang penting yang terjadi di aceh, seperti :


1. kasus di Gedung KNPI ,
Kasus ini diawali, dengan suatu tragedi yang terjadi di pagi hari tepatnya pada tanggal 9 januari 1999, sejumlah pasukan menyerang desa Meunasah Blang Kandang Kec.Muara Dua, Aceh Utara untuk mencari seorang penduduk yang bernama Ahmat Kandang yang disinyalir sebagai tokoh terkemuka Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam beberapa jam operasi yang dilakukan pasukan telah menawan dan menahan 40 orang warga sipil, termasuk 33 orang yg di tahan pada operasi di Jln.Dikuta Blang Lhokseumawe. Para tawanan yang di tangkap terus di interogasi sepangang hari, dan selama interogasi telah terjadi pemukulan dan penyiksaan yang menyebabkan jatuhnya korban. Akibatnya 4 orang meninggal dan yang lainnya luka parah. (catatan dan sumber data dari KOMNAS HAM Aceh(tim independent untuk kasus aceh)dan NGO HAM)
2. peristiwa simpang KKA Lhokseumawe,
Kasus ini terjadi akibat adanya balas dendam oleh sekelompok pasukan TNI karena tidak menerima bahwa salah seorang anggotanya hilang dalam suatu keramaian pada saat diadakannya ceramah untuk memperingati 1 muharram di desa Cot Murong Kec.Dewantara Kab.Aceh Utara. TNI dengan mengerahkan sekitar 4 truk pasukan untuk menyisir dan menemukan korban yang hilang tersebut telah membuat warga pada keramaian tersebut panic sehingga terjadi suatu hal yang memancing emosi dari salah satu pihak (warga / TNI).
Melihat kondisi yang sangat terdesak itu terdengar 1 kali letusan senjata, dan selanjutnya disusul dengan rentetan tembakan selama lebih kurang 30 menit yang diarahkan ke kerumunan warga. korban pun satu persatu berjatuhan. Data telah menunjukan bahwa akibat tragedy simpang KKA telah menewaskan 46 tewas dan 150 orang luka-luka, serta 10 orang lain dinyatakan hilang. Korban yang jatuh dalam jumlah yg cukup besar dan diantaranya korban ada anak-anak, wanita, dan orang-orang tua. (sumber data, KOMNAS HAM Aceh dan NGO HAM Aceh, laporan , tanggal 3 mei 1999.)
3. tragedy Idi Cut,
Kasus ini merupakan kasus pembantaian yang terjadi di Idi Cut, tepatnya diawal februari 1999. Diawali dengan penembakan kearah warga yang sedang pulang sehabis mendengar ceramah di mesjid Matang Ulim Aceh Timur. Masyarakat yang datang menghadiri ceramah tersebut dalam jumlah yang cukup besar lebih kurang 500 (lima ratus) orang. Penembakan tersebut semakin gencar dilakukan lebih kurang dilakukan selama 1 jam. Setelah penembakan reda kemudian aparat menangkap warga yang masih bersembunyi serta menaikkan mereka kedalam truk sekitar 58 orang, kemudian mereka dibawa kearah jembatan Arakundo di Idi Cut, sebagian mereka yang masih hidup atau mati di masukkan kedalam goni dan di ikat batu, mereka kemudian di campakkan ke dalam sungai Arakundo dan ditenggelamkan sampai mereka diketemukan beberapa hari kemudian. Sekitarnya 28 orang meninggal , 8 mayat di banduli batu kemudian dibuang ke sungai Arakundo, dan 5 orang di tembak mati oleh pasukan LINUD 100 yang bertugas di Aceh Timur. (sumber data, Cardova document, pelanggaran HAM di Aceh 1998-1999. Agustus 1999, juga data dari NGO HAM Aceh setrta harian SERAMBI iNDONESIA tanggal 3 februari 1999.)
4. pembunuhan Teungku Bantaqiyah,
Kasus ini adalah kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat secara kejam terhadap tengku Bantaqiah dan para santrinya. Setelah penembakan itu kemudian para korban dengan dengan bantuan para penduduk dikubur dalam satu lubang yang lebih kurang 31 mayat. Kasus ini terjadi di suatu desa Beutong Ateuh Kab.Aceh Barat.
5. kasus terhadap relawan RATA dan Bumi Flora
Secara lebih rinci kasus ini bermula dari 4 (empat) orang relawan Rehabilitasi Korban Tindak Kekerasan di Aceh (RATA), yang terdiri dari Idris bin Yusuf (27 tahun), Bachtiar bin Usman Daud (23 tahun), Ernita binti Wahab (23 tahun), dan Nazaruddin bin Abd Ghani (22 tahun), sedang menjalankan tugas kemanusiaan di Aceh kemudian di culik Oleh sekelompok orang bersenjata api. Keesokan harinya 3 dari mereka (Idris, Bachtiar, Ernita(wanita)) telah menjadi korban (tewas) dengan kondisi yang sangat menggenaskan. Dari jenazah mereka didapati luka bekas tembakan, dan mereka di ketemukan dalam sebuah rumah kosong di daerah Kec.Blang Mangat, Kab.Aceh Utara.

Semangat Pemerintah dalam Penegakan kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh
Beberapa kasus yang telah dipaparkan tersebut diatas, sebenarnya terjadi ketika periode pemerintahan transisi sedang berlangsung di Indonesia. Dalam periode inilah terjadi berbagai perkembangan menarik dalam rangka menghormati hak asasi manusia di Indonesia. Selain terjadinya amandemen terhadap UUD 1945, beberapa undang-undang yang lebih demokratis lahirpada periode ini, antara lain UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU no. 25 tahun 1999 tentang perimbanga keungan pusat dan daerah, UU no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, serta UU No. 41 tahun1999 tentang Pers.
Semua yang telah terpaparkan diatas, memberikan gambaran kepada kita bahwa sejak itu sudah mulai ada usaha untuk menyusun berbagai ketentuan yang mengatur tentang desentralisasi, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Secara kenegaraan sikap pemerintah akhir-akhir ini dengan mulai mengeluarkan kebijakan untuk mengusut kembali pelanggaran HAM yang mengeluarkan kebijakan untuk mengusut kembali pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, telah memberikan suatu harapan akan penegakan hokum di Indonesia. Seperti halnya dengan penyelesaian pertikaian konflik antara RI-GAM yang di tandatangani pada tanggal 9 desember 2002 telah memberikan nuansa baru bahwa konflik yang berkepanjangan itu harus di akhiri, meskipun akhirnya perdamaain itu tidak berjalan dengan sempurna dan kemudian pertikaian RI-GAM diakhiri dengan usulan pemberlakuan darurat militer (DM) kembali. Selanjutnya sebagai upaya untuk mengisi proses penegakan hokum akibat dari konflik dan timbulnya pelanggaran HAM yang berat masa lalu, dapat dilakukan suatu mekanisme proses peradilan dabn non peradilan misalnyaRekonsiliasi. Akan tetapi untuk menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu , perlu dijelaskan apa dan bagaimana pelanggaran HAM yang berat itu terjadi. Akan tetapi sikap kedua pihak dalam rangka mencari solusi damai di aceh tidak sepenuhnya berjalan dengan baik , sehingga pada waktu-waktu selanjutnya telah terjadi ketegangan kembali yang kemudian memperuncing persoalan aceh dengan penyelesaian melalui suatu proses Darurat militer (DM).
Pemerintah seperti lembaga eksekutif, legislative, maupun yudikatif masih kurang untuk menyelesaikan kasus-kasus atas pelanggaran ham yang berat di masa lalu itu, karena belum ada political will untuk itu atau secara tidak langsung masih berpengaruh dengan kepentingan politik yang ada dan di tambah lagi dengan sikap pro dan kontra atas ketentuan asas retroaktif yang tertuang dalam UUD 1945. Mengingat political will pemerintah masih kurang , meskipun secara nyata sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu hampir 15 tahun di daerah aceh baik selama masa DOM maupun pasca DOM dengan adanya konflik telah terjadi berbagai pelanggaran HAM di darah ini. Oleh karena itu political will pemerintah merupakan langkah yang paling utama dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia saat ini.
Terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat saat ini telah di fasilitasi pengadilan khusus dilingkungan peradilan umum. Untuk itu terhadap pelanggaran HAM yang berat akhir-akhir ini prosesnya dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh dan berada dibawah koordinasi Kejaksaan Agung, seperti kasus pelanggaran HAM yang berat TimTim yang selanjutnya akan dilanjuti dengan kasus pelangggaran HAM Tanjung Priok. Adapun mekanisme yang digunakan adalah melalui proses peradilan HAM ad-hoc melalui keputusan presiden Nomor 53 Tahun 2001.
Berkaitan dengan rangkaian di atas, dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dalam perspektif hokum nasional atau peradilan nasional, khususnya pelanggaran HAM yang berat sekarang, di masa lalu, dan yang akan datang dapat ditempuh melalui berbagai mekanisme penyelesaian . antara lain dengan merajuk kepada mekanisme yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM, dimana Komnas HAM telah merekomendasikan 3 (tiga) mekanisme penyelesaiannya antara lain :
1) Pengadilan HAM;
Pengadilan ini adalan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan ini berada dilingkungan peradilan umum dan berkedudukan di ibukota daerah kabupaten atau ibukota daerah kotadan daerah hokumnya meliputi daerah hokum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pengadilan ini hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah disahkan Undang-undang Pengadilan HAM (UU No.26 Tahun 2000).
2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (KKR);
Komisi Kebanaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut komisi) adalah sebuah badan resmi yang dibentuk melalui Undang-undang atau Keputusan Presiden ( keppres ) untu menyelidiki pelanggaran HAM yang berat atau pelanggaran terhadap kemanusiaan internasional yang terjadi dalam suatu periode dimasa lalu dan tidak hanya berfokus pada suatu kejadian tertentu. Dasar hokum di bentuknya komisi ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatNomor V Tahun 2000 (Ketetapan MPR N0.V/2000). TAP ini telah mengamanatkan bahwa untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, salah satunya, melalui Komisi. Keberadaan komisi ini bersifat sementara dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya, dan komisi ini berhenti setelah menyampaikan laporan temuannya. Komisi tidak memiliki kekuatan penuntutan seperti memerintah saksi atau membawa kasus ke pengadilan dan bertindak sebagai badan peradilan untuk menetapkan seorang bersalah melakukan kejahatan. Keberadaan komisi ini dalam rangka mencari titik temu tentang suatu peristiwa yaitu untuk memutuskan suatu hubungan dimasa lalu terhadap berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi.
3) Pengadilan HAM ad-hoc
Pengadilan HAM ad-hoc ini bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran atau kejahatan HAM yang berat dimasa lalu. Penadilan HAM ad-hoc ini dibentuk dalam rangka mengadilipelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, mengingat UUD 1945 tidak mengenal asas retroaktif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu, sedangkan UU NO.26/2000 justru mengenal asas retroaktif. Oleh karena itu sebagai langkah awal yang diambil oleh pemerintah dalam menangani perkara pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, seperti kasus pelanggaran HAM di Timor-timur (TimTim) dan banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang akan direkomendasikan melalui pengadilan HAM ad-hoc.
Dalam peroses penegakan hukum kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh, dapat di tempuh dengan membentuk suatu peradilan HAM ad-hoc, seperti yang pernah di bentuk untuk kasus TIM-TIM. Peradilan HAM ad-hoc adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat secara litigasi ( peradilan ), cara ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hokum, mengingat masih terjadinya perdebatan atas ada tidaknya terjadi pelanggaran HAM yang berat, di samping peraturan perundang-undangan tentang HAM belum ada pada saat terjadinya kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh tersebut.
Satu hal yang dapat di ambil dari penggunaan peradilan HAM ad-hoc dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh adalah peradilan HAM ad-hoc menggunakan hasas “nullum crimen sine yure”. Dalam hal ini apa yang pernah di lakukan oleh berbagai peradilan internasional dalam mengadil pelanggaran HAM yang berat harus di anggap sebagai perinsip-perinsip hukum umum yang bisa di terapkan untuk masyarakat suatu Negara.
Sejalan uraian di atas, A.Hakim Garuda Nusantara menjelaskan dalam peroses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat apa lagi dalam hal terjadinya operasi militer (DOM/DM) markas system peradilan pidana harus di kedepankan, dengan kata lain penegakan hokum itu lebih kepada unsure pidana yaitu pada pelaku pelanggaran hokum di bawah kepengadilan.

Hambatan terhadap penegakan hokum atas pelanggaran HAM
Adapun hambatan yang paling utama dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia khususnya di aceh, masih pada kendala ada tidaknya kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah yang di sebut dengan political wil pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh. Mengingat kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh merupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu, dan melibatkan para pelaku dari kalangan penguasa baik ditingkat pemerintah maupun meliter, sehingga tentunya para pelaku yang terlibat selalu berusaha untuk menghindari penyelesaiannya serta berusaha menghindari dari tanggung jawab atas segala perbuatan yang melekat pada jabatan atau kekuasaanya dimasa terjadinya pelanggaran tersebut. Oleh karena itu hambatan dalam mengungkapkan kebenaran dan pengakuan akan rasa tanggung jawab dari pihak-pihak yang telah terlibat dalam proses terjadinya pelanggaran HAM yang berat di Aceh sangat sulit sekali. Disamping itu para anggota legislative yang berasal dari pemilihan daerah Aceh yang minim di DPR juga belum sepenuhnya dan berani untuk mengungkapkan dan mendesak agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh diajukan ke pengadilan atau ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan kebenaran dengan jumlah yang tidak seberapa dibandingkan anggota dari daerah lainnya.
Hambatan lainnya dalam mengungkapkan kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh, khususnya dimasa lalu adalah tidak adanya jaminan terhadap para saksi yang melihat dan mengalami sendiri kejadian proses terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
»»  readmore...