SALEUM TEUKA

SALEUM TEUKA.......Geutanyoe Ureung Meurdeka Bebas Dalam Ber-XPRESI

Enjoy Beuh !!!

Kamis, 03 November 2011

Penegakan Hukum & HAM di Aceh

PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI ACEH PADA MASA KONFLIK DAN DAMAI

Secara konsep di Indonesia hak asasi manusia di artikan dengan “ seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerahnya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia. (pasal 1UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ).
Persoalan penegakan hokum dan ham di masa lalu yang terjadi di aceh,, sangat bnyak dipengaruhinoleh berbagai perpektif kepentingan , sehingga aceh yang dijuluki sebagai daerah modal telah menyebabkan aceh menjadi daerah yang penuh konflik. Akibat dari konflik internal yang terjadi baik secara vertical maupun horizontal, telah membawa banyak jatuh korban pada masing-masing pihak yang bertikai.
Banyak kasus-kasus pelanggaran ham yang berat yang penderitanya adalah penduduk sipil yang tak berdosa. Banyak kasus-kasus yang terjadi di masalalu, dan sampai sekarang ini hanya baru sebagian yang bisa diungkapkan dan diproses secara hokum yang berlaku. Bahkan masih banyak lagi kasus-kasus ham (kemanusiaan) yang hilang begitu saja tanpa tersentuh oleh penegakan hokum yang pasti dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelanggaran HAM yang berat di Aceh
Indonesia sendiri sudah mencamtumkan perihal hak asasi manusia ini setelah berlangsung amandemen terhadap UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa perlindungan , kemajuan , penegakan dan pemenuhan ,hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.
Adanya jaminan ini dalam konstitusi menandakan bahwa betapa Indonesia sudah sangat menyadari pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia ini. Dengan sendirinya pula, menempatkan Indonesia sebagai Negara yang sudah memiliki aturan yang konkrit dalam konstitusi seputar pengaturan hak asasi manusia.
Pengaturan ini dapat dipahami dari berbagai kondisi kelam masa lalu yang pernah berlangsung di aceh . provinsi ini merupakan kawasan yang berlangsung pelanggaran terhadap hak asasi manusia di masa lalu, khususnya pada masa daerah operasi militer (DOM) sekitar tahun 1989-1998. Setelah dicabutnya DOM , beberapa peristiwa pelanggaran ham juga berlangsung. Beberapa kasus mengenai ham yang penting yang terjadi di aceh, seperti :


1. kasus di Gedung KNPI ,
Kasus ini diawali, dengan suatu tragedi yang terjadi di pagi hari tepatnya pada tanggal 9 januari 1999, sejumlah pasukan menyerang desa Meunasah Blang Kandang Kec.Muara Dua, Aceh Utara untuk mencari seorang penduduk yang bernama Ahmat Kandang yang disinyalir sebagai tokoh terkemuka Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam beberapa jam operasi yang dilakukan pasukan telah menawan dan menahan 40 orang warga sipil, termasuk 33 orang yg di tahan pada operasi di Jln.Dikuta Blang Lhokseumawe. Para tawanan yang di tangkap terus di interogasi sepangang hari, dan selama interogasi telah terjadi pemukulan dan penyiksaan yang menyebabkan jatuhnya korban. Akibatnya 4 orang meninggal dan yang lainnya luka parah. (catatan dan sumber data dari KOMNAS HAM Aceh(tim independent untuk kasus aceh)dan NGO HAM)
2. peristiwa simpang KKA Lhokseumawe,
Kasus ini terjadi akibat adanya balas dendam oleh sekelompok pasukan TNI karena tidak menerima bahwa salah seorang anggotanya hilang dalam suatu keramaian pada saat diadakannya ceramah untuk memperingati 1 muharram di desa Cot Murong Kec.Dewantara Kab.Aceh Utara. TNI dengan mengerahkan sekitar 4 truk pasukan untuk menyisir dan menemukan korban yang hilang tersebut telah membuat warga pada keramaian tersebut panic sehingga terjadi suatu hal yang memancing emosi dari salah satu pihak (warga / TNI).
Melihat kondisi yang sangat terdesak itu terdengar 1 kali letusan senjata, dan selanjutnya disusul dengan rentetan tembakan selama lebih kurang 30 menit yang diarahkan ke kerumunan warga. korban pun satu persatu berjatuhan. Data telah menunjukan bahwa akibat tragedy simpang KKA telah menewaskan 46 tewas dan 150 orang luka-luka, serta 10 orang lain dinyatakan hilang. Korban yang jatuh dalam jumlah yg cukup besar dan diantaranya korban ada anak-anak, wanita, dan orang-orang tua. (sumber data, KOMNAS HAM Aceh dan NGO HAM Aceh, laporan , tanggal 3 mei 1999.)
3. tragedy Idi Cut,
Kasus ini merupakan kasus pembantaian yang terjadi di Idi Cut, tepatnya diawal februari 1999. Diawali dengan penembakan kearah warga yang sedang pulang sehabis mendengar ceramah di mesjid Matang Ulim Aceh Timur. Masyarakat yang datang menghadiri ceramah tersebut dalam jumlah yang cukup besar lebih kurang 500 (lima ratus) orang. Penembakan tersebut semakin gencar dilakukan lebih kurang dilakukan selama 1 jam. Setelah penembakan reda kemudian aparat menangkap warga yang masih bersembunyi serta menaikkan mereka kedalam truk sekitar 58 orang, kemudian mereka dibawa kearah jembatan Arakundo di Idi Cut, sebagian mereka yang masih hidup atau mati di masukkan kedalam goni dan di ikat batu, mereka kemudian di campakkan ke dalam sungai Arakundo dan ditenggelamkan sampai mereka diketemukan beberapa hari kemudian. Sekitarnya 28 orang meninggal , 8 mayat di banduli batu kemudian dibuang ke sungai Arakundo, dan 5 orang di tembak mati oleh pasukan LINUD 100 yang bertugas di Aceh Timur. (sumber data, Cardova document, pelanggaran HAM di Aceh 1998-1999. Agustus 1999, juga data dari NGO HAM Aceh setrta harian SERAMBI iNDONESIA tanggal 3 februari 1999.)
4. pembunuhan Teungku Bantaqiyah,
Kasus ini adalah kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat secara kejam terhadap tengku Bantaqiah dan para santrinya. Setelah penembakan itu kemudian para korban dengan dengan bantuan para penduduk dikubur dalam satu lubang yang lebih kurang 31 mayat. Kasus ini terjadi di suatu desa Beutong Ateuh Kab.Aceh Barat.
5. kasus terhadap relawan RATA dan Bumi Flora
Secara lebih rinci kasus ini bermula dari 4 (empat) orang relawan Rehabilitasi Korban Tindak Kekerasan di Aceh (RATA), yang terdiri dari Idris bin Yusuf (27 tahun), Bachtiar bin Usman Daud (23 tahun), Ernita binti Wahab (23 tahun), dan Nazaruddin bin Abd Ghani (22 tahun), sedang menjalankan tugas kemanusiaan di Aceh kemudian di culik Oleh sekelompok orang bersenjata api. Keesokan harinya 3 dari mereka (Idris, Bachtiar, Ernita(wanita)) telah menjadi korban (tewas) dengan kondisi yang sangat menggenaskan. Dari jenazah mereka didapati luka bekas tembakan, dan mereka di ketemukan dalam sebuah rumah kosong di daerah Kec.Blang Mangat, Kab.Aceh Utara.

Semangat Pemerintah dalam Penegakan kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh
Beberapa kasus yang telah dipaparkan tersebut diatas, sebenarnya terjadi ketika periode pemerintahan transisi sedang berlangsung di Indonesia. Dalam periode inilah terjadi berbagai perkembangan menarik dalam rangka menghormati hak asasi manusia di Indonesia. Selain terjadinya amandemen terhadap UUD 1945, beberapa undang-undang yang lebih demokratis lahirpada periode ini, antara lain UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU no. 25 tahun 1999 tentang perimbanga keungan pusat dan daerah, UU no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, serta UU No. 41 tahun1999 tentang Pers.
Semua yang telah terpaparkan diatas, memberikan gambaran kepada kita bahwa sejak itu sudah mulai ada usaha untuk menyusun berbagai ketentuan yang mengatur tentang desentralisasi, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Secara kenegaraan sikap pemerintah akhir-akhir ini dengan mulai mengeluarkan kebijakan untuk mengusut kembali pelanggaran HAM yang mengeluarkan kebijakan untuk mengusut kembali pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, telah memberikan suatu harapan akan penegakan hokum di Indonesia. Seperti halnya dengan penyelesaian pertikaian konflik antara RI-GAM yang di tandatangani pada tanggal 9 desember 2002 telah memberikan nuansa baru bahwa konflik yang berkepanjangan itu harus di akhiri, meskipun akhirnya perdamaain itu tidak berjalan dengan sempurna dan kemudian pertikaian RI-GAM diakhiri dengan usulan pemberlakuan darurat militer (DM) kembali. Selanjutnya sebagai upaya untuk mengisi proses penegakan hokum akibat dari konflik dan timbulnya pelanggaran HAM yang berat masa lalu, dapat dilakukan suatu mekanisme proses peradilan dabn non peradilan misalnyaRekonsiliasi. Akan tetapi untuk menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu , perlu dijelaskan apa dan bagaimana pelanggaran HAM yang berat itu terjadi. Akan tetapi sikap kedua pihak dalam rangka mencari solusi damai di aceh tidak sepenuhnya berjalan dengan baik , sehingga pada waktu-waktu selanjutnya telah terjadi ketegangan kembali yang kemudian memperuncing persoalan aceh dengan penyelesaian melalui suatu proses Darurat militer (DM).
Pemerintah seperti lembaga eksekutif, legislative, maupun yudikatif masih kurang untuk menyelesaikan kasus-kasus atas pelanggaran ham yang berat di masa lalu itu, karena belum ada political will untuk itu atau secara tidak langsung masih berpengaruh dengan kepentingan politik yang ada dan di tambah lagi dengan sikap pro dan kontra atas ketentuan asas retroaktif yang tertuang dalam UUD 1945. Mengingat political will pemerintah masih kurang , meskipun secara nyata sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu hampir 15 tahun di daerah aceh baik selama masa DOM maupun pasca DOM dengan adanya konflik telah terjadi berbagai pelanggaran HAM di darah ini. Oleh karena itu political will pemerintah merupakan langkah yang paling utama dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia saat ini.
Terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat saat ini telah di fasilitasi pengadilan khusus dilingkungan peradilan umum. Untuk itu terhadap pelanggaran HAM yang berat akhir-akhir ini prosesnya dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh dan berada dibawah koordinasi Kejaksaan Agung, seperti kasus pelanggaran HAM yang berat TimTim yang selanjutnya akan dilanjuti dengan kasus pelangggaran HAM Tanjung Priok. Adapun mekanisme yang digunakan adalah melalui proses peradilan HAM ad-hoc melalui keputusan presiden Nomor 53 Tahun 2001.
Berkaitan dengan rangkaian di atas, dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dalam perspektif hokum nasional atau peradilan nasional, khususnya pelanggaran HAM yang berat sekarang, di masa lalu, dan yang akan datang dapat ditempuh melalui berbagai mekanisme penyelesaian . antara lain dengan merajuk kepada mekanisme yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM, dimana Komnas HAM telah merekomendasikan 3 (tiga) mekanisme penyelesaiannya antara lain :
1) Pengadilan HAM;
Pengadilan ini adalan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan ini berada dilingkungan peradilan umum dan berkedudukan di ibukota daerah kabupaten atau ibukota daerah kotadan daerah hokumnya meliputi daerah hokum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pengadilan ini hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah disahkan Undang-undang Pengadilan HAM (UU No.26 Tahun 2000).
2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (KKR);
Komisi Kebanaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut komisi) adalah sebuah badan resmi yang dibentuk melalui Undang-undang atau Keputusan Presiden ( keppres ) untu menyelidiki pelanggaran HAM yang berat atau pelanggaran terhadap kemanusiaan internasional yang terjadi dalam suatu periode dimasa lalu dan tidak hanya berfokus pada suatu kejadian tertentu. Dasar hokum di bentuknya komisi ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatNomor V Tahun 2000 (Ketetapan MPR N0.V/2000). TAP ini telah mengamanatkan bahwa untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, salah satunya, melalui Komisi. Keberadaan komisi ini bersifat sementara dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya, dan komisi ini berhenti setelah menyampaikan laporan temuannya. Komisi tidak memiliki kekuatan penuntutan seperti memerintah saksi atau membawa kasus ke pengadilan dan bertindak sebagai badan peradilan untuk menetapkan seorang bersalah melakukan kejahatan. Keberadaan komisi ini dalam rangka mencari titik temu tentang suatu peristiwa yaitu untuk memutuskan suatu hubungan dimasa lalu terhadap berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi.
3) Pengadilan HAM ad-hoc
Pengadilan HAM ad-hoc ini bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran atau kejahatan HAM yang berat dimasa lalu. Penadilan HAM ad-hoc ini dibentuk dalam rangka mengadilipelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, mengingat UUD 1945 tidak mengenal asas retroaktif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu, sedangkan UU NO.26/2000 justru mengenal asas retroaktif. Oleh karena itu sebagai langkah awal yang diambil oleh pemerintah dalam menangani perkara pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, seperti kasus pelanggaran HAM di Timor-timur (TimTim) dan banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang akan direkomendasikan melalui pengadilan HAM ad-hoc.
Dalam peroses penegakan hukum kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh, dapat di tempuh dengan membentuk suatu peradilan HAM ad-hoc, seperti yang pernah di bentuk untuk kasus TIM-TIM. Peradilan HAM ad-hoc adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat secara litigasi ( peradilan ), cara ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hokum, mengingat masih terjadinya perdebatan atas ada tidaknya terjadi pelanggaran HAM yang berat, di samping peraturan perundang-undangan tentang HAM belum ada pada saat terjadinya kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh tersebut.
Satu hal yang dapat di ambil dari penggunaan peradilan HAM ad-hoc dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di aceh adalah peradilan HAM ad-hoc menggunakan hasas “nullum crimen sine yure”. Dalam hal ini apa yang pernah di lakukan oleh berbagai peradilan internasional dalam mengadil pelanggaran HAM yang berat harus di anggap sebagai perinsip-perinsip hukum umum yang bisa di terapkan untuk masyarakat suatu Negara.
Sejalan uraian di atas, A.Hakim Garuda Nusantara menjelaskan dalam peroses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat apa lagi dalam hal terjadinya operasi militer (DOM/DM) markas system peradilan pidana harus di kedepankan, dengan kata lain penegakan hokum itu lebih kepada unsure pidana yaitu pada pelaku pelanggaran hokum di bawah kepengadilan.

Hambatan terhadap penegakan hokum atas pelanggaran HAM
Adapun hambatan yang paling utama dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia khususnya di aceh, masih pada kendala ada tidaknya kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah yang di sebut dengan political wil pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh. Mengingat kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh merupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu, dan melibatkan para pelaku dari kalangan penguasa baik ditingkat pemerintah maupun meliter, sehingga tentunya para pelaku yang terlibat selalu berusaha untuk menghindari penyelesaiannya serta berusaha menghindari dari tanggung jawab atas segala perbuatan yang melekat pada jabatan atau kekuasaanya dimasa terjadinya pelanggaran tersebut. Oleh karena itu hambatan dalam mengungkapkan kebenaran dan pengakuan akan rasa tanggung jawab dari pihak-pihak yang telah terlibat dalam proses terjadinya pelanggaran HAM yang berat di Aceh sangat sulit sekali. Disamping itu para anggota legislative yang berasal dari pemilihan daerah Aceh yang minim di DPR juga belum sepenuhnya dan berani untuk mengungkapkan dan mendesak agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh diajukan ke pengadilan atau ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan kebenaran dengan jumlah yang tidak seberapa dibandingkan anggota dari daerah lainnya.
Hambatan lainnya dalam mengungkapkan kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh, khususnya dimasa lalu adalah tidak adanya jaminan terhadap para saksi yang melihat dan mengalami sendiri kejadian proses terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
»»  readmore...

Sabtu, 15 Oktober 2011

PIDANA BERSYARAT dan PELEPASAN BERSYARAT

A. PIDANA BERSYARAT

Istilah pidana bersyarat dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan istilah hukuman janggelan, atau hukuman percobaan. Dalam Kamus Umum Inggris-Indonesia istilah probation diterjemahkan dengan percobaan. Menurut Black Law Dictionary, Probation berarti suatu putusan hakim pengadilan berupa penjatuhan pidana atas perbuatan jahat, namun terpidana tetap bebas bergaul dalam masyarakat dengan pengawasan petugas probation dengan kewajiban membuat laporan terhadap tingkah laku terpidana dalam jangka waktu percobaan. Sebaliknya dalam World University Dictionary, probation merupakan suatu sistem pembinaan terpidana atas perbuatan jahatnya, namun terpidana tetap bebas bergaul dalam masyarakat di bawah pengawasan umum.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dikemukakan :
a. pidana bersyarat dapat dianggap sama dengan probation;
b. pidana bersyarat merupakan teknik upaya pembinaan terpidana di luar penjara;
c. pidana bersyarat diputuskan oleh hakim pengadilan dengan syarat-syarat;
d. pidana bersyarat pelaksanaannya diawasi oleh petugas yang berwenang;
e. pidana bersyarat dimaksudkan untuk memperbaiki terpidana agar tidak terpengaruh subkultur penjara;
f. pidana bersyarat dimaksudkan juga untuk pencegahan terjadinya kejahatan;
g. pidana bersyarat dianggap terpidana diuntungkan
.
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f KUHP tentang pidana bersyarat, sebagai berikut:
a. Pidana bersyarat dapat diterapkan jika Hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti.
b. Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP, sedangkan tindak pidana lainnya paling lama dua tahun, dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan ke dalam masa percobaan
c. Hakim, di samping menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana, dapat juga menetapkan syarat khusus, seperti terpidana diperintahkan membayar ganti rugi kepada korban.
d. Jaksa adalah pejabat yang mengawasi agar syarat-syarat terpenuhi, dan Hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum, lembaga sosial, untuk memberikan bantuan kepada terpidana agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan
e. Lamanya waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul jaksa ataupun terpidana. Hakim dapat mengubah syarat-syarat khusus, dan dapat memperpanjang masa percobaan satu kali, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan
f. Hakim dapat memerintahkan pidana penjara untuk melaksanakan, dalam hal terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bersifat tetap, atau jika salah satu syarat tidak terpenuhi, ataupun kaena penjatuhan pidana sebelum masa percobaan dimulai.
g. Perintah melaksanakan pidana tidak dapat dilakukan apabila masa percobaan telah habis, kecuali sebelum amasa percobaan habis terpidana dituntut atas tindak pidana yang dilakukan pada masa percobaan dan dijatuhi pidana yang menjadi tetap, maka Hakim dalam waktu dua bulan setelah putusan, dapat memerintahkan terpidana melaksanakan pidana.

Pemberian pembebasan bersyarat diperluas, melalui Undang-undang 12 Juni 1915, dinamakan pidana bersyarat bagi orang dewasa menurut hukum pidana. Pidana bersyarat mendapat kemungkinan pada pidana penjara paling tinggi satu tahun., dalam penahanan dan dalam hal denda dengan uang. Ini adalah pidana di mana terpidana tidak menjalani pidananya, apabila terpidana sanggup memenuhi syarat yang ditentukan oleh hakim terhadapnya. Yakni :
1. Bahwa hakim menangguhkan keputusannya dengan bersyarat dan baru menjatuhkan pidana yang sebenarnya apabila ternyata, bahwa terpidana yang diuji itu, tidak bertindak sesuai dengan syarat yang ditentukan terhadapnya (sistem-percobaan);
2. Bahwa hakim menjatuhkan pidana dengan segera, akan tetapi sekaligus menetapkan, bahwa pidana itu tidak akan dijalankan, kecuali apabila hakim memutuskan lain, berdasarkan kenyataan, bahwa terpidana tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim terhadapnya selama waktu percobaan.


B. PELEPASAN BERSYARAT
pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang undang Hukum Pidana serta Pasal 14, 22, dan Pasa1 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
1 . pembebasan bersyarat bertujuan:
a. membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan;
b. memberi kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana;
c. mendorong masyarakat untuk berperanserta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan

2 . Persyaratan dalam pembebasan Bersyarat
a. Persyaratan substantif
• telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
• telah menunjukan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
• berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
• masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan;
• selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernahmendapat hukuman disiplin sekurang kurangnya dalam waktu 9(sembilan) bulan terakhir.
• masa pidana yang telah dijalani:
- untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah.menjalani 2/3(duapertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanandan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperolehkekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (duapertiga) tersebuttidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

b. Persyaratan administratif
• salinan putusan pengadilan (ekstrak vania);
• surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
• laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari BAPAS tentang pihak keluargayang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lainyang ada hubungannya dengan narapidana;
• salinan (Daftar Huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yangdilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala LembagaPemasyarakatan (Kepala LAPAS);
• salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain, dari Kepala LAPAS;
• Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana,seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau Swasta, dengandiketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah ataukepala desa;
• Surat keterangan kesehatan dari psikolog, atau dari dokter bahwa narapidanasehat baik jasmani maupun jiwanya, dan apabila di LAPAS tidak ada psikologdan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmasatau Rumah Sakit Umum.
• bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan :
- surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan;
- Surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat

3. Tata Cara untuk pemberian pembebasan bersyarat :
a. TPP LAPAS setelah mendengar pendapat anggota tim serta mempelajariLaporan Litmas dari BAPAS, mengusulkan kepada Kepala LAPAS yangdituangkan dalam formulir yang telah ditetapkan;
b. Kepala LAPAS, apabila menyetujui usul TPP LAPAS, selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor wilayah Departemen Kehakiman setempat;
c. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dapat menolak atau menyetujuiusul Kepala LAPAS setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP KantorWilayah Departemen Kehakiman setempat;
d. apabila Kepala Kantor wilayah Departemen Kehakiman menolak usul KepalaLAPAS, maka dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejakditerimanya usul tersebut memberitahukan penolakan itu beserta alasannyakepada Kepala LAPAS;
e. apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman menyetujui usul KepalaLAPAS, maka dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitungsejak diterima usul tersebut dan meneruskan usul Kepala LAPAS kepadaDirektur Jenderal Pemasyarakatan;
f. Direktur Jenderal pemasyarakatan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya usul Kepala LAPAS, menetapkanpenolakan atau persetujuan terhadap usul tersebut;
g. dalam hal Direktur Jenderal Pemasyarakatan menolak usul tersebut maka dalamjangka waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak tanggalpenetapan memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada KepalaLAPAS; dan
h. apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul Kepala LAPAS, maka usul tersebut diteruskan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkanpersetujuan.


Pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya, kecuali jika melanggar syarat umum atau khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat, terpidana harus atau telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 dari hukuman
»»  readmore...

Senin, 03 Oktober 2011

uni afrika

Uni Afrika


Uni Afrika, disingkat UA (bahasa Inggris: African Union, disingkat AU) adalah sebuah uni yang terdiri dari 54 negara Afrika. Satu-satunya negara Afrika penuh yang tidak bergabung dengan UA adalah Maroko. Didirikan pada 9 Juli 2002,[7] dibentuk sebagai penerus Organisasi Kesatuan Afrika (OAU). Keputusan terpenting UA dibuat oleh Majelis Uni Afrika, pertemuan semitahunan kepala negara dan pemerintahan negara-negara anggotanya. Sekretariat UA, Komisi Uni Afrika, bermarkas di Addis Ababa, Ethiopia.


Negara-negara berikut adalah anggota Uni Afrika
  Afrika Selatan
  Republik Afrika Tengah
  Aljazair
  Angola
  Republik Demokratik Arab Sahrawi
  Benin
  Botswana
  Burkina Faso
  Burundi
  Chad
  Djibouti
  Eritrea
  Ethiopia
  Gabon
  Gambia
  Ghana
  Guinea
  Guinea-Bissau
 Guinea Khatulistiwa
  Kamerun
  Kenya
  Komoro
  Republik Demokratik Kongo
  Republik Kongo
  Lesotho
  Liberia
  Libya
  Malawi
  Mali
  Mauritania
  Mauritius
  Mesir
  Mozambik
  Namibia
  Niger
  Nigeria
 Pantai Gading
  Rwanda
  Sao Tome dan Principe
  Senegal
  Seychelles
  Sierra Leone
  Somalia
  Sudan
  Sudan Selatan
  Swaziland
  Tanjung Verde
  Tanzania
  Togo
  Tunisia
  Uganda
  Zambia
  Zimbabwe






Anggota yang dibekukan
Madagaskar – Dibekukan setelah krisis politik Madagaskar 2009. 
Mantan anggota
  Maroko - meninggalkan pendahulu UA, Organisasi Kesatuan Afrika (OAU) pada 1984, ketika mayoritas negara anggota mendukungRepublik Demokratik Arab Sahrawi (diproklamasikan oleh Front Polisario pada 1976 yang mengklaim sebagai perwakilan Sahara Barat), berujung pada diterimanya RDAS dalam UA.[10][11] Sekutu Maroko, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), juga menolak penerimaan OAU atas Republik Sahrawi, dan rezim Mobutu memboikot organisasi tersebut sejak 1984 hingga 1986.[12] Beberapa negara sejak saat itumenarik kembali dukungannya untuk Republik Sahrawi.


Regional Afrika
Afrika merupakan sebuah kawasan yang cukup luas. Akan tetapi Afrika merupakan benua yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari bagian sub-sahara Afrika dimana 37 dari 48state yang ada merupakan negara dengan tingkat pendapatan yang rendah (Shaw, 2000). Di Afrika sendiri bentuk dari regionalisasinya cenderung mikro-regionalisme, dimana kerjasama yang terjadi cenderung dilakukan oleh antarnegara di benua Afrika. Regionalisme dipandang sebagai sebuah proses yang berbeda-beda. Menurut Timothy M. Shaw, regionalisasi di Afrika tersebut baru terbentuk pada masa millennium baru (Shaw, 2000). Kebangkitan regionalisme Afrika ini dimulai pada awal abad 20. Pada saat perang dunia kedua sedang berlangsung, permasalahan-permasalahan yang diangkat menjadi Afrika-sentris dan fokusnya tentang adanya pencelaan pada segala bentuk kolonialisme dan adanya dominasi orang-orang kulit putih. Selain itu regionalisme di Afrika baru bisa berkembang juga karena banyaknya negara-negara di Afrika yang mulai memerdekakan dirinya dari kolonialisme (Bach, 2003). Adanya konflik yang diwarisi sejak era kolonialisme kemudian meninggalkan serangkaian persoalan terutama terkait dengan perbatasan dan area kedaulatan. Ditambah lagi dengan kemiskinan yang luar biasa yang mendorong banyak sekali aksi pelanggaran HAM dan berbagai krisis seperti perang saudara. Masalah kaburnya batas-batas yang jelas selain memicu perang saudara juga menimbulkan berbagai tindak kriminal internasional yang terorganisir seperti jaringan perdagangan obat-obatan ilegal, money laundering dan terorisme. Khusus untuk permasalahan terorisme ini, Afrika merupakan sasaran empuk teroris karena selain kaburnya batas-batas negara, juga didukung oleh supremasi hukum yang lemah.
Munculnya gerakan regionalisme di Afrika ini tidak lepas dari peran pergerakan dari oraganisasi perlawanan rakyat Afrika Front Line States (FLS) dan Pan-African. FLS sendiri ada untuk melawan adanya dominasi kulit putih dikawasan Afrika. Dominasi ini juga merupakan akibat dari adanya kolonialisme di Arika. Sedangkan Pan-African merupakan sebuah pergerakan yang dibentuk di AS dan West Indies pada abad ke-20. Pada akhir PD II, pan-African lebih terfokus pada denouncing colonialismdan white domination. Pan-African memberikan banyak kontribusi dalam terbentuknya OAU yang pada akhirnya menjadi titik awal dari berkembangnya regionalism di Afrika. Pada 1963 berdasarkan Addis Ababa charter didirikan sebuah organisasi yang berdasar pada adanya pembentukan persatuan di Afrika yaitu Organisation of African Unity (OAU). OAU memiliki tujuan awal untuk membebaskan negara-negara di Afrika yang sebagian banyak masih dibelenggu dalam bayang-bayang kolonialisme dan adanya permasalahan rasial. Jadi pada dasarnya regionalisme di kawasan Afrika pada awalnya lebih banyak didasari atas adanya keinginan untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Seiring berjalannya waktu dengan kemunculan OAU sebagai pendongkrak semangat bangsa Afrika. Munculah beberapa organisasi lain yang juga muncul berdasarkan kerjasama regional di Afrika. Contohnya adalah pada awal 1980-an berdirilah African Economic Community (AEC), yang berisikan 53 negara. Organisasi ini diharapkan dapat memberikan semangat kepada negara-negara di Afrika dan menaikan produksi ekonomi masyarakat Afrika. Dalam organisasi ini diharapkan adanya pergerakan yang bebas atas barang serta faktor produksinya, pembentukan pasar domestik tunggal, bank sentral, dll.
Dalam menjalankan fungsinya, OAU memberikan jaminan non intervensi pada masalah internal negara anggota yang lalu dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk menindas rakyatnya. Hal inilah yang memicu keinginan untuk membentuk African Unity (AU). AU terbentuk pada 9 Agustus 2002 dengan fokusnya pada sektor keamanan, pengembangan ekonomi, dan kestabilan wilayah Afrika. Dalam perkembangannya regionalisme mulai menunjukan arah positif dalam kerjasama-kerjasama ekonomi. Dimana terdapat tujuh Regional Economics Community (REC) yang disebutkan oleh African Union (AU) yaitu Arab Maghreb Union (AMU), Economic Community of Central African States (ECCAS), Common Market for East and Southern Africa (COMESA), Southern Africa Development Community (SADC),Intergovernmental Authority on Development (IGAD), Economic Community of West African States(ECOWAS), dan Community of Sahelian-Saharan States (CEN-SAD). Dari bentuk-bentuk regionalisme diatas dapat dilihat bahwa bentuk dari regionalisme di Afrika cenderung membahas permasalahan ekonomi yang cukup sering terjadi di Afrika.
Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan Uni Afrika
Pemukim kulit putih mulai berdatangan di tahun 1880-an di Kerajaan Afrika bagian selatan yang kini disebut sebagai Zimbabwe atau Rhodesia. Penjajah mengganti nama tempat itu dengan Rhodesia sesuai dengan nama tokoh Inggris yakni Cecil Rhodes yang bermimpi menyatukan seluruh dunia di bawah pemerintahan Inggris, dan menjadikan Inggris kaya dari hasil alam yang ada yakni berlian, emas dan perunggu (Times, 2001). Rhodes membuka jalan bagi para penjajah Inggris dan perusahaan yang dimilikinya untuk menduduki Afrika pada waktu itu. Hal-hal yang dilakukannya antara lain dengan, membuka lahan pertambangan dengan memperkejakan orang-orang asli Afrika.
Dari ilustrasi diatas, dapat terlihat adanya kolonisasi oleh bangsa asing di Afrika, sehingga pada tanggal 25 Mei 1963, OAU (Organization of African Union) didirikan oleh 32 pemimpin negara-negara independen Afrika (Ashgate, 2006). Mandat dari OAU adalah untuk mempromosikan kesatuan Afrika yang baru, untuk menghapuskan segala bentuk kolonialisme di Afrika, untuk mempromosikan kerjasama antar benua, dan untuk mempertahankan kedaulatan dari masing-masing wilayah negara yang ada di Afrika. Tujuannya adalah untuk membantu menyelesaikan dekolonisasi dari benua itu, tetapi pembentukannya tergantung pada keberhasilan prinsip kemerdekaan Afrika. Para pendirinya adalah beberapa tokoh besar di Afrika, termasuk Dr Kwame Nkrumah Ghana, Leopold Senghor Sédar Senegal, Haile Selassie dari Ethiopia (www.ohncr.org).
Pada 1940-an dan awal 1950-an, partai politik baru di negara-negara Afrika menuntut kebebasan politik dan juga meminta penghentian dominasi kolonial. Italia dan Inggris, diikuti oleh Perancis dan Belgia akhirnya menanggapi permintaan untuk memerdekakan negara-negara jajahannya. Libya memperoleh kemerdekaan dari Italia pada 1951, Mesir telah menerima kemerdekaan resmi pada 1922, tetapi pasukan Inggris tetap di sana sampai 1954. Inggris juga memerintah Ghana (sebelumnya Gold Coast) yang pada tahun 1957 adalah negara pertama di selatan Sahara yang menjadi negara mandiri. Kwame Nkrumah, yang memimpin gerakan kemerdekaan di sana mulai berbicara tentang kerjasama antara negara-negara independen Afrika.
Ketika Nkrumah memperkenalkan konsep persatuan Afrika di benua itu, negara-negara Afrika baru merdeka dibagi menjadi dua kelompok. Beberapa negara dan pemimpin mereka, termasuk Nkrumah, Sékou Toure dari Guinea, dan Modibo Keita dari Mali berusaha untuk bersatu, bahkan dari sektor militer mereka juga berusaha membuat kelompok militer Afrika yang bersatu. Selanjutnya di Mesir, pemerintahan transisi dari Aljazair dan Maroko, bergabung dengan Uni Ghana-Guinea-Mali untuk membentuk Grup Casablanca. Grup selanjutnya adalah Grup Monrovia, terdiri dari 24 negara termasuk Nigeria, Liberia, Senegal, Pantai Gading, Kamerun, dan Togo. Negara-negara pada Grup Monrovia percaya pada pendekatan yang lebih bertahap untuk persatuan Afrika, yakni dengan menggabungkan ekonomi lintas-perbatasan sebagai langkah pertama. Banyak yang percaya bahwa keretakan antara kedua kelompok (Casablanca dan Monrovia) ini akan bersifat permanen, dan harapan untuk persatuan Afrika akan menagalami banyak hambatan.
Melihat hal tersebut, OAU dinilai masih belum menjadikan Afrika satu, oleh karena itu OAU berganti nama menjadi African Union (AU) pada tahun 2002. Mewakili 53 negara di Afrika, AU adalah penerus OAU yang didirikan pada tahun 1963, yang bekerja untuk membawa negara-negara Afrika untuk mendapatkan dan memperkuat kemerdekaan mereka dari negara-negara Eropa, yang telah memerintah atas mereka dengan kekerasan, selama beberapa dekade. OAU berdiri melawan kolonialisme, apartheid, dan ketergantungan pada negara asing, sementara itu AU menekankan pada demokrasi, hak asasi manusia, pembangunan dan ekonomi. Misi utama AU relatif baru yakni menciptakan kesatuan yang lebih besar dan kerjasama antar negara anggota dan di antara bangsa-bangsa Afrika dalam rangka meningkatkan kondisi kehidupan di benua ini (www.africa-union.org). 53 negara anggota berharap bahwa organisasi akan memungkinkan negara-negara Afrika untuk lebih didengar dalam diskusi dan negosiasi global.
Tantangan dan Hambatan yang Dihadapi Uni Afrika
Sebagai sebuah organisasi regional, tantangan yang dihadapi oleh Uni Afrika sangatlah berat, baik dari segi internal maupun eksternal kawasan tersebut. Bila dibandingkan sekilas dengan organisasi regional di kawasan Asia, misalnya, jelas sekali terlihat bahwa Uni Afrika masih belum dapat menunjukkan pengaruh atau eksistensinya di dunia internasional. Ada beberapa faktor terkait dengan perkembangan regionalisme di Afrika ini. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kondisi geografi Afrika yang didominasi oleh wilayah gurun yang tandus, teknologi dan sumber daya manusia yang kurang berpendidikan, dan banyaknya angka kriminalitas seperti pelanggaran HAM, terorisme dan masalah-masalah internal lainnya. Kondisi tersebut membuat negara-negara maju menjadi enggan untuk memulai penanaman modal atau investasi di Afrika. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pertumbuhan negara Afrika sendiri yaitu dengan sedikitnya peran pihak asing (negara maju) di wilayah Afrika, maka globalisasi pun juga akan sulit untuk menjangkau negara tersebut.
Kondisi geografi suatu negara memang tidak mungkin untuk diubah, tetapi faktor lain seperti seperti teknologi, sumber daya manusia, dan tingkat kriminalitas di wilayah Afrika merupakan variabel yang bisa diubah. Hal pertama yang harus diubah adalah mengenai sumber daya manusia Afrika yang kurang ahli. Organisasi-organisasi regional, misalnya Uni Afrika dan pemerintah seharusnya mengadakan suatu pelatihan bagi masyarakat Afrika sehingga tenaga kerja masyarakatnya dapat memaksimalkan usaha-usaha dalam negeri. Apabila sumber daya manusia di Afrika dapat ditingkatkan ke tingkat profesional, maka perekonomian Afrika akan dapat ditingkatkan juga. Kedua, masalah teknologi. Dengan adanya sumber daya manusia yang baik, teknologi juga akan dapat ditingkatkan ke skala global. Ketiga, masalah kriminalitas yang sulit sekali diselesaikan. Jika masalah kriminalitas di Afrika dapat diminimalisasi, maka negara-negara maju mungkin tidak akan enggan untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Afrika dan hal ini tentu saja akan dapat memajukan regionalisme di Afrika.
Penjelasan di atas merupakan sebuah penjelasan singkat mengenai masalah utama yang di hadapi negara-negara di Afrika secara umum. Terbentuknya Uni Afrika seharusnya mampu mengatasi masalah-masalah di atas. Inilah yang menjadi tantangan utama bagi sebuah organisasi regional seperti Uni Afrika, yaitu bagaimana negara-negara di Afrika dapat bersatu dan menggabungkan kekuatan dalam menghadapi isu-isu tersebut. Tantangan lain yang dihadapi oleh Uni Afrika adalah hal-hal yang terkait dengan konflik internal kawasan tersebut. Afrika merupakan negara yang masih diwarnai dengan konflik antar negara, baik masalah etnis, perbatasan maupun perebutan sumber daya alam. Misalnya saja konflik yang terjadi di Somalia, krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah Sudan, krisis politik yang menimbulkan konflik di Zimbabwe, dan masih banyak konflik lainnya. Dalam merespon konflik internal tersebut, Uni Afrika telah menunjukkan usahanya, seperti pengiriman pasukan perdamaian dalam penyelesaian konflik di Darfur, dan penggelaran konferensi antar anggota Uni Afrika untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Selain tantangan dalam menyelesaikan konflik internal, berikut ini adalah tantangan-tantangan yang dihadapi Uni Afrika, sesuai dengan yang tercantum dalam Strategic Plan of the Commission of the African Union yaitu:
- Weak linkages and bridges between the resources of the continent
Untuk menyatukan atau mengintegrasikan suatu kawasan, maka perlu adanya infrastruktur yang dapat mempermudah mobilitas masyarakat dalam pertukaran ide dan pengalaman. Inilah yang masih menjadi tantangan bagi Uni Afrika yang mana kondisi infrastruktur jalan, rel kereta api, jembatan, dan telekomunikasi masih belum lengkap sehingga banyak daerah-daerah yang masih sulit dijangkau.
- The Weakness of the Existing Capacities in the Commission
Komisi Uni Afrika dibentuk sebagai mesin penggerak persatuan kawasan, tapi pada praktiknya, kapasitas komisi organisasi regional tersebut masih belum cukup untuk dapat mewujudkan tujuan-tujuan organisasi.
- Institutional Cacophony
Tantangan selanjutnya bagi Uni Afrika adalah bagaimana menyatukan institusi-institusi regional maupun sub-regional untuk bekerja sama dan diorganisasi dengan baik sehingga dapat bekerja lebih efektif dan tidak terjadi overlapping.
- The Challenge of Creating Effective Governance Instrument for the African Union
Ada beberapa bagian penting dalam Uni Afrika. Pertama, the commission yang berperan sebagai motor penggerak terwujudnya union. Kedua, member states yang berfungsi sebagai manajer di bidang politik.Kemudian, Pan-African Parliament dan ECOSOCC sebagai kontrol terhadap jalannya demokrasi.Keempat, REC (Regional Economic Community) sebagai building blocks dari union tersebut. kelima,court of justice sebagai lembaga judisial, dan African Court of Human and People’s Rights. Tantangan bagi Uni Afrika kemudian adalah bagaimana menumbuhkan pemahaman antar organ-organ penting dalam Uni Afrika sendiri sehingga setiap organ dapat berfungsi sebagaimana mestinya (sesuai dengan peranan masing-masing).
Uni Afrika memiliki jumlah anggota yang sangat banyak, sehingga struktur yang dibentuk menjadi sedemikian kompleks. Kompleksitas ini menimbulkan gagasan untuk membentuk sebuah pemerintahan Afrika, gagasan ini dicetuskan oleh presiden Libya Muammar al-Gaddafi dalam pertemuan Uni Afrika Februari 2009. Tujuannya untuk memberikan peran lebih besar kepada Uni Afrika di kancah internasional dan membentuk semacam “Perserikatan Negara-negara Afrika” (www.dw-world.de).
Sebagai sebuah organisasi regional yang menaungi banyak negara anggota, Uni Afrika tentu memiliki hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Secara umum, hambatan yang dihadapi negara-negara Afrika sejak mereka memperoleh kemerdekaannya adalah pembentukan sebuah pemerintahan yang demokratis dan dapat menciptakan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, pemerintahan negara-negara Afrika, baik secara individu maupun kolektif, selama bertahun-tahun telah menerapkan berbagai macam strategi dan memberikan respon pada tantangan ini (Shinkaiye, 2006).
Selain itu, seiring dengan arus globalisasi yang membawa serta ideologi neoliberal ke benua Afrika juga pengaruh yang cukup signifikan. Kebijakan neoliberal yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia dan kekerasan dari arus globalisasi korporasi yang dipimpin justru memperlemah Afrika. Karakteristik utama dari benua itu adalah kelemahan dan adanya pembagian divisi-divisi, walaupun dibentuk Uni Afrika dan penerapan New Partnership for Africa’s Development (NEPAD), divisi-divisi ini tetap ada. Hubungan Neo-kolonial masih kuat dengan pengaruh dari mantan kolonial. Masih banyak pangkalan dan fasilitas militer asing di benua itu. Beberapa negara masih tergantung pada negara-negara barat untuk keamanan mereka. Perancis campur tangan dalam Republik Afrika Tengah dalam upaya untuk membantu pemerintah memukul balik serangan dari kelompok pemberontak. Kemiskinan adalah hasil dari kebijakan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia, dengan menggunakan dalih utang dengan keterlibatan pemerintah Afrika. Hal ini diperburuk oleh ketergantungan ekonomi, keuangan, dan politik pada negara-negara Barat dan lembaga-lembaga multilateral. Ketergantungan akan makanan telah meningkat secara dramatis. Menurut FAO dan badan PBB lainnya, lebih dari 43 juta penduduk Afrika menderita kelaparan, dan yang membunuh lebih banyak orang adalah HIV / AIDS, malaria dan TBC. Akibatnya, Afrika menghabiskan miliaran dolar dalam impor makanan, lalu dibayar oleh kredit dan bantuan dari negara-negara Barat dan lembaga multilateral (Dembele, 2007).


Prospek Uni Afrika
Sebagai sebuah organisasi regional, Uni Afrika memiliki tujuan-tujuan guna tercapainya integrasi Afrika secara keseluruhan. Keberadaan organisasi regional Uni Afrika secara umum ditujukan untuk mencapai perbaikan kualitas hidup di Afrika sendiri (Badejo, 2008). Perbaikan kualitas hidup ini seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, kemakmuran dan demokrasi yang ada di negara-negara Afrika. Tentunya juga mengupayakan adanya kooperasi dan integrasi negara-negara Afrika secara menyeluruh (Badejo, 2008).
Selain tujuan diatas, Badejo menambahkan bahwa keberadaan Uni Afrika juga diupayakan sebagai penguat nilai tawar negara-negara Afrika di dalam hubungan internasional (Badejo, 2008). Tujuan utama organisasi tersebut pada akhirnya terbentur oleh hambatan-hambatan yang muncul seperti diatas. Meskipun demikian, dalam artikelnya, Mkwezalamba dan Chinyama (2007) menyebut bahwa organisasi Uni Afrika juga melakukan serangkaian perbaikan terkait hambatan yang ada.
Perbaikan-perbaikan terhadap hambatan yang ada tersebut pada akhirnya memberi sebuah harapan dan prospek terhadap kelangsungan Uni Afrika itu sendiri. Perbaikan-perbaikan yang ada seperti mengupayakan perdamaian dan peredaan konflik merupakan sebuah jalan keluar yang terbaik bagi Uni Afrika. Dengan upaya peredaan konflik seperti dengan membentuk The Solemn Declaration at the Conference on Security, Stability, Development and Cooperation in Africa (CSSDCA) dan The Memorandum of Understanding on Security, Stability, Development and Cooperation in Africa(Mkwezalamba dan Chinyama, 2007) Afrika menghadapi sebuah babak baru dalam menghadapi masa depan. Selain itu, hal yang paling penting adalah pengadobsian Protocol Relating to the Establishment of the Peace and Security Council (PSC) ke dalam Uni Afrika.
Selain mengupayakan peredaaan konflik dan perdamaian, prospek Uni Afrika dapat dicapai melalui perbaikan dalam bidang ekonomi politik. Perbaikan bidang ekonomi politik ini terutama berkaitan dengan reformasi makro ekonomi politik negara-negara di Afrika (Mkwezalamba dan Chinyama, 2007). Perbaikan ekonomi ini ditujukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi sendiri, meningkatkan investasi dan mengupayakan berkurangnya kemiskinan. Perbaikan ekonomi politik ini menjadi sebuah hal penting dalam mengupayakan pembangunan Afrika karena jalan terbesar dalam mengupayakan integrasi dalam bidang ekonomi.
Dari serangkaian upaya perbaikan diatas, terlihat bahwa prospek terbesar Uni Afrika adalah berdirinya sebuah organisasi regional yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan negara-negara Afrika. Prospek dari Uni Afrika ini tentunya harus ditunjang oleh peningkatan dan perbaikan kualitas hidup negara-negara Afrika seperti yang telah disebut diatas. Hal ini karena semua prospek yang ada dan berpotensi sebagai keberhasilan Uni Afrika tidak akan muncul jika masih ada hambatan-hambatan. Oleh karena itu, Uni Afrika harus mengatasi terlebih dahulu hambatan yang dihadapi tersebut.
Selain hal diatas, satu hal lagi yang menjadi prospek keberhasilan Uni Afrika kedepan adalah melimpahnya sumber daya alam. Namun hal ini kembali pada ulasan diatas bahwa selama potensi sumber daya alam tersebut masih ditumpangi oleh konflik-konflik kepentingan, maka prospek Uni Afrika sebagai sebuah organisasi regional yang mengupayakan integrasi menyeluruh negara-negara di Afrika tidak akan mencapai titik keberhasilan. Oleh karena itu, sekali lagi dapat disebutkan bahwa Uni Afrika harus terlebih dahulu meminimalisasi hambatan yang agar potensi dan prospek keberhasilan Uni Afrika sebagai organisasi regional bisa tercapai dengan maksimal.





























»»  readmore...